Agus Mulyana, dosen Fakulas Psikologi Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung tidak seharusnya mengata-ngatai mahasiswa dengan kata-kata yang tidak senonoh. Apa pantas seorang dosen mengatakan "kamu itu tidak normal!". Gara-garanya dari rambut, seorang mahasiswa yang rambutnya sudah di pangkas tapi katanya masih kurang pendek, padahal sudah rapih. Kemudian mahasiswa itu di usir dari kelas, padahal itu lagi bimbingan dan persiapan sebelum tes, setidaknya beri waktu untuk menyelesaikan itu semua, kan masih ada waktu sorenya buat pangkas rambut. Dalam perspektif pendidikan maupun agama tidak seharusnya seorang pengajar seperti itu terhadap anak didiknya.
Mahasiswa itu pergi untuk memotong rambutnya, ketika keruang lab. psikologi eh malah dikata-katain tidak normal, padahal itu sudah pendek. Apa maunya Agus Mulyana itu? Seperti menyuruh semaunya saja, membuat aturan tanpa aturan. Kalau ada dendam pribadi sepertinya jauh dari kemungkinan, soalnya Agus Mulayana tidak mengajar mahasiswa itu.
Bagaimana bisa mencetak masa depan mahasiswa yang berprestasi, mendidik saja tidak becus seperti itu, tidak memanusiakan manusia. Kalau untuk mendidik, apakah pantas harus seperti itu? Mungkin pantas untuk orang yang tidak berpendidikan. Kalau seperti itu bukan mencetak prestasi tapi malah merusak kreatifitas mahasiswa.
Beberapa hal yang mendasar dalam proses mendidik salah satunya adalah metode pembelajaran yang digunakan oleh seorang pendidik. Dimana ketepatan dalam menyampaikan materi pembelajaran dengan metode pembelajaran yang benar akan mempermudah dan mempercepat proses penyampaian ilmu kepada anak didik. Sedangkan metode CACI MAKI itu tidak ada. Jika cara menyampaikan peringatan seperti itu, si anak didik tidak akan menghargai, kalau keseringan mendidik dengan kekerasan, baik itu kekerasan fisik maupun kekerasan dalam perkataan maka akan mebuat kebal dan akan menimbulkan agresi, jika dia kuat. Namun, jika dia lemah akan membunuh semua harapannya.
Saya menulis seperti ini supaya para pendidik tidak membunuh kreatifitas anak didiknya dengan cara yang tidak seharusnya. Dan berharap jangan memamfaatkan jabatan untuk berbuatan seenaknya saja.
Mungkin seorang mahasiswa yang diceritakan diatas tidak bisa melawannya, karena yang kecil itu kalau bicara, jika benar tidak didengar, dan kalau salah akan mati. Filosofinya seperti semut.
Mungkin seorang mahasiswa yang diceritakan diatas tidak bisa melawannya, karena yang kecil itu kalau bicara, jika benar tidak didengar, dan kalau salah akan mati. Filosofinya seperti semut.