Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa
Arab qalb. Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung, bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kita memakai kata hati sebagaimana yang sudah
biasa. Hati adalah segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di dada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini
bukanlah objek kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran yang cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati
binatang, bahkan bangkainya. Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang halus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang ada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang disebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumber pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah berfirman,
"Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan memahaminya." (QS. 7:1-79).
Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara, bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakekat manusia itu
jiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi
mereka berbeda pendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi para
filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh
melalui pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama merupakan daya berpikir. Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah atau sumber ma'rifat --suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersih dari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moral dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang tercela dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa, wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah) yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapat menjadi Sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapai pengenalan Allah Dengan demikian, poros jalan sufi ialah
moralitas.
Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan
tabiat terpuji adalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar hanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja, sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya kehidupan yang abadi.
Hati nurani ini tidak terlepas dari penyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnya
berkembang banyak dan akan berubah menjadi
hati dhulmani--hati yang kotor. Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh hasil perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya,
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah
orang yang mengotorinya." (QS. 91:8-9).
Hati nurani bagaikan cermin, sementara
pengetahuan adalah pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika cermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh. Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nurani bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari Allah Swt.
Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada dada seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya, ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadap dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang
berkaitan dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya, dan menerima Allah segenap hati.
Dan barangsiapa memiliki Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari
hati nurani, dengan keteguhan beribadat, tanpa belajar, tetapi lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi. Hati atau sukma dhulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan
nafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah
sebabnya ia selalu menggoda manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaan manusia (nafs nathiqah), tergantung pada
kemampuan hati-nurani dalam pengendalian dan pengontrolan hati dhulmani.
0 komentar:
Posting Komentar